Pengertian dan Dampak Ketidakadilan Hukum
Ketidakadilan hukum adalah situasi di mana hukum, sistem peradilan, atau penegak hukum gagal memberikan perlakuan yang adil, setara, dan tidak memihak kepada setiap warga negara. Ini bukan hanya tentang hukum yang tertulis, tetapi lebih pada bagaimana hukum itu diterapkan dan dijalankan dalam praktiknya.
Intinya, ketidakadilan hukum terjadi ketika ada kesenjangan antara cita-cita hukum (seperti yang tertulis dalam konstitusi atau undang-undang) dengan realita yang dialami oleh masyarakat.
Ciri-Ciri dan Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Hukum
Ketidakadilan hukum dapat mewujud dalam berbagai bentuk, mulai dari yang sistemik hingga yang kasuistik:
1. Diskriminasi dalam Penegakan Hukum
• Contoh: Seseorang dengan kekuasaan atau kekayaan tinggi mendapatkan perlakuan khusus (seperti hukuman yang lebih ringan atau bahkan dibebaskan), sementara rakyat kecil dihukum berat untuk pelanggaran yang sama.
• Contoh Lain: Perlakuan yang berbeda berdasarkan suku, agama, ras, gender, atau orientasi politik.
2. Ketimpangan Akses terhadap Keadilan
• Contoh: Biaya perkara (lawyer, pengadilan) yang mahal membuat orang miskin tidak mampu membela haknya di pengadilan.
• Contoh Lain: Ketidaktahuan tentang hukum dan hak-haknya membuat masyarakat rentan dimanipulasi.
3. Proses Hukum yang Tidak Adil (Procedural Injustice)
• Contoh: Penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan, pembatasan akses kepada penasihat hukum, atau peradilan yang berlangsung tertutup untuk kasus yang seharusnya transparan.
• Contoh Lain: Keterlambatan penanganan perkara (peradilan yang lambat) yang menyebabkan seseorang ditahan bertahun-tahun tanpa kepastian.
4. Hukum yang Tidak Adil Secara Substansi
• Contoh: Undang-undang yang dibuat hanya untuk melindungi kepentingan penguasa atau kelompok tertentu dan menindas kelompok minoritas.
• Contoh Lain: Aturan yang multitafsir (karet) sehingga mudah disalahgunakan untuk menjerat pihak yang tidak disukai.
5. Budaya Bisa Diatur atau Silent Agreement
• Contoh: Praktik suap (gratifikasi) untuk memperlancar urusan administratif atau menghentikan proses hukum. Hal ini telah dianggap sebagai budaya sehingga menciptakan ketidakadilan bagi mereka yang tidak mampu atau tidak mau menyuap.
6. Penyalahgunaan Kekuasaan (Abuse of Power)
• Contoh: Aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi atau politik, seperti melakukan kriminalisasi terhadap lawan politik atau aktivis kritis.
Penyebab Ketidakadilan Hukum
Faktor-faktor yang melatarbelakangi ketidakadilan hukum sangat kompleks:
• **Faktor Struktural/Sistemik: Sistem hukum itu sendiri yang lemah, birokrasi yang berbelit, dan kurangnya transparansi.
• Faktor Sumber Daya Manusia: Kualitas, integritas, dan kesejahteraan aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) yang tidak merata.
• Faktor Politik: Intervensi kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap lembaga peradilan.
• Faktor Ekonomi: Kesenjangan ekonomi yang lebar menciptakan ketimpangan dalam akses terhadap bantuan hukum yang berkualitas.
• Faktor Budaya: Masyarakatakat yang masih memiliki budaya paternalistik dan feodal, serta kurangnya kesadaran hukum.
Dampak Ketidakadilan Hukum
Dampaknya sangat luas dan merusak fondasi negara:
1. Erosi Kepercayaan Publik: Masyarakat tidak lagi percaya pada hukum dan institusi peradilan. Mereka menganggap hukum hanya tumpul ke atas, tajam ke bawah.
2. Pelanggaran HAM: Hak asasi seseorang untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law) dilanggar.
3. Rintangan bagi Pembangunan: Iklim investasi dan bisnis menjadi tidak sehat karena ketidakpastian hukum.
4. Krisis Legitimasi Pemerintah: Pemerintah yang tidak mampu menegakkan hukum kehilangan legitimasi dan dukungan dari rakyat.
5. Social Unrest: Dapat memicu konflik sosial dan kekacauan karena rasa ketidakadilan yang menumpuk dalam masyarakat.
Upaya Mengatasi Ketidakadilan Hukum
Memerangi ketidakadilan hukum membutuhkan komitmen dan usaha bersama:
• Memperkuat Lembaga Peradilan: Meningkatkan independensi dan akuntabilitas lembaga penegak hukum (Polri, Kejaksaan, Kehakiman).
• Reformasi Birokrasi: Menyederhanakan prosedur dan meningkatkan transparansi di semua layanan publik.
• Pendidikan Hukum bagi Masyarakat: Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat (legal awareness) agar mereka tahu hak-haknya dan berani menuntut keadilan.
• Pemberantasan Korupsi: KPK dan lembaga sejenis harus diperkuat untuk memberantas korupsi di sektor hukum.
• Bantuan Hukum: Memperluas akses bantuan hukum gratis (legal aid) bagi masyarakat tidak mampu.
Kasus-Kasus Ketidakadilan di Indonesia
Indonesia telah mengalami banyak kasus ketidakadilan hukum yang menyita perhatian publik dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Kasus-kasus ini menggambarkan berbagai bentuk ketidakadilan, mulai dari diskriminasi, penyalahgunaan kekuasaan, ketimpangan akses, hingga hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Berikut adalah beberapa contoh kasus yang dianggap sebagai cerminan ketidakadilan hukum di Indonesia, dikelompokkan berdasarkan jenis masalahnya:
1. Kasus yang Menunjukkan Kesenjangan Kelas dan Diskriminasi Sosial-Ekonomi
a. Kasus Pencurian Sandal (Jerat Pasal Berat untuk Rakyat Kecil)
• Apa yang terjadi: Seorang nenek atau individu dari kalangan miskin seringkali dijerat dengan pasal berlapis (seperti Pasal 362 KUHP tentang pencurian) untuk kasus pencurian barang bernilai sangat rendah, seperti sandal, kakao, atau seekor ayam.
• Unsur Ketidakadilan: Sanksi yang tidak proporsional untuk tindakan yang didorong oleh kebutuhan ekonomi yang mendesak. Sementara di sisi lain, kasus korupsi yang merugikan negara miliaran rupiah seringkali pelakunya mendapat hukuman yang relatif ringan atau bahkan pembebasan. Kontras ini memperkuat persepsi hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah.
b. Kasus Prita Mulyasari vs. RS Omni Internasional (2009)
• Apa yang terjadi: Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan RS Omni Internasional melalui email ke teman-temannya. RS melaporkannya ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik (Pasal 310 dan 311 KUHP) dan mengugatnya secara perdata.
• Unsur Ketidakadilan: Seorang konsumen biasa dihadapkan pada kekuatan hukum dan modal besar. Kasus ini memicu kemarahan publik dan solidaritas luar biasa (koin keadilan untuk Prita) yang menunjukkan betapa sistem hukum dianggap tidak melindungi wong cilik yang hanya menyuarakan keluhannya.
2. Kasus yang Melibatkan Kriminalisasi dan Penyalahgunaan Kekuasaan
a. Kasus Bibit-Chandra (Komisi Pemberantasan Korupsi - 2009)
• Apa yang terjadi: Dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, hendak ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian. Rekaman pembicaraan yang diputar di Mahkamah Konstitusi mengungkap adanya konspirasi untuk menjebak mereka (disebut gebyah uyah atau menjerat semua orang).
• Unsur Ketidakadilan: Ini adalah contoh klasik upaya kriminalisasi terhadap penegak hukum yang justru sedang memberantas korupsi. Kasus ini membuka mata publik tentang bagaimana hukum bisa dimanipulasi oleh kekuatan politik dan pihak-pihak yang terancam oleh pemberantasan korupsi.
b. Kasus Novel Baswedan (Penyiraman Air Keras - 2017)
• Apa yang terjadi: Penyidik senior KPK, Novel Baswedan, disiram air keras oleh orang tak dikenal, yang diduga sebagai upaya untuk melumpuhkan pemberantasan korupsi. Pencarian dan proses hukum terhadap pelaku dinilai lambat dan tidak tuntas.
• Unsur Ketidakadilan: Kegagalan negara dalam melindungi penegak hukumnya dan ketiadaan keadilan bagi korban. Pesan yang tercipta adalah bahwa siapa pun yang berani melawan korupsi bisa menjadi target, dan hukum tidak mampu memberikan perlindungan maupun keadilan.
3. Kasus yang Menunjukkan Intervensi Politik dan Hukum yang Dijadikan Alat
a. Kasus Penjara Mirna Salihin (Istri Bupati Nonaktif Kutai Kartanegara)
• Apa yang terjadi: Mirna Salihin, istri Bupati nonaktif, dihukum karena korupsi dana hibah. Namun, ia mendapatkan fasilitas dan kemewahan luar biasa di dalam penjara, seperti AC, kulkas, dan peralatan elektronik, yang diunggahnya sendiri di media sosial.
• Unsur Ketidakadilan: Dua sistem hukum yang berbeda. Narapidana dari kalangan elit bisa membeli kenyamanan dan menghina tujuan dari hukuman penjara, sementara narapidana biasa hidup dalam kondisi yang sesak dan tidak manusiawi. Ini adalah bentuk nyata dari ketidakadilan prosedural dan diskriminasi kelas.
b. Kasus-kasus yang Ditunggangi Kepentingan Politik (Misal: Ujaran Kebencian terhadap Pejabat)**
• Apa yang terjadi: Banyak aktivis, pengkritik pemerintah, atau pihak oposisi dijerat dengan Pasal tentang Ujaran Kebencian (Pasal 28 UU ITE) atau Pasal Penghinaan terhadap Penguasa (Pasal 134, 136 KUHP) untuk membungsu suara kritis.
• Unsur Ketidakadilan: Hukum digunakan bukan untuk melindungi publik, tetapi untuk melindungi kekuasaan dari kritik. Pasal-pasal karet ini menciptakan efek dingin"(chilling effect) di mana masyarakat menjadi takut untuk menyampaikan pendapat.
4. Kasus yang Menunjukkan Ketidakpastian Hukum dan Inkonsistensi
a. Kasus Freeport vs. Pemerintah Indonesia
• Apa yang terjadi: Perpanjangan dan negosiasi kontrak karya Freeport seringkali diwarnai dengan ketidakpastian dan perubahan aturan di tengah jalan. Meski melibatkan korporasi besar, ini mencerminkan masalah sistemik dimana kepastian hukum—yang merupakan fondasi investasi—sering goyah.
• Unsur Ketidakadilan: Ketidakpastian hukum merugikan semua pihak, baik investor maupun negara, dan menciptakan lingkungan yang rentan terhadap praktik korupsi dan suap.
b. Kasus-kasus Sengketa Tanah
• Apa yang terjadi: Konflik antara masyarakat adat atau petani kecil dengan perusahaan perkebunan dan properti. Seringkali, masyarakat lokal yang telah tinggal turun-temurun kalah secara hukum melawan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki perusahaan, meski proses penerbitan HGU itu sendiri dipertanyakan.
• Unsur Ketidakadilan: Hukum properti formal seringkali mengabaikan hak-hak tradisional dan historis masyarakat, serta kekuatan modal dan politik yang tidak seimbang. Aparat keamanan seringkali memihak perusahaan dalam pengusiran paksa, menunjukkan ketidakadilan dalam penegakan hukum di lapangan.
Kesimpulan
Kasus-kasus di atas hanyalah puncak gunung es dari masalah ketidakadilan hukum di Indonesia. Pola yang berulang adalah:
1. Hukum sebagai Alat Kekuasaan, bukan sebagai panglima.
2. Diskriminasi yang nyata berdasarkan status sosial, ekonomi, dan politik.
3. Lemahnya perlindungan terhadap kelompok rentan dan penegak hukum yang berintegritas.
4. Budaya impunitas (hukuman yang sangat ringan atau tidak ada) bagi pelaku korupsi dan pelanggar hukum dari kalangan elite.
Reformasi hukum di Indonesia masih merupakan pekerjaan rumah yang sangat besar. Keberanian untuk menuntaskan kasus-kasus besar dan konsistensi dalam menegakkan hukum bagi semua kalangan, tanpa pandang bulu, adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan publik.








